JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Masih berlanjutnya aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Permata Nusa Mandiri (PNM), terus menerus menghancurkan hutan dan tanah adat di wilayah lembah Grime Nawa, kabupaten Jayapura, tidak bisa dibiarkan lagi karena sudah mengancam eksistensi masyarakat adat setempat sebagai pemilik ulayat.
Untuk menentukan sikap terhadap perusahaan perusak tanah dan hutan adat itu, masyarakat adat di lembah Grime Nawa berkumpul membicarakannya dalam musyawarah masyarakat adat yang berlangsung di kantor Dewan Adat Daerah Grime Nawa, kampung Nimbokrangsari, distrik Nimbokrang, kabupaten Jayapura, Kamis (21/7/2022).
Musyawarah adat dihadiri lebih dari 100 orang pemimpin adat, tokoh perempuan dari lima daerah persekutuan adat dan masyarakat adat Grime Nawa. Mereka mendiskusikan fakta perampasan tanah adat dan pengrusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Matius Sawa, ketua Dewan Adat Daerah Grime Nawa, mengatakan, musyawarah adat dilakukan karena sebelumnya sejak Februari hingga Juni 2022, berkali-kali masyarakat adat dan Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa melakukan aksi protes dan bertemu pejabat pemerintah daerah dan DPRD, menuntut pencabutan izin dan pemulihan hak masyarakat adat.
“Sampai sekarang belum ada jawaban terhadap aksi protes dan upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat adat. Sedangkan pihak perusahaan terus beroperasi sampai gusur semua hutan adat. Kami tidak bisa tunggu lagi,” ujarnya.
Karena itulah harus direspons dengan sikap tegas masyarakat adat sebagaimana mengemuka dalam musyawarah adat bertajuk “Selamatkan Lembah Grime Nawa dari ancaman perampasan tanah adat” itu.
Kian hancurnya hutan adat dan tanah adat di lembah Grime Nawa, ujar Matius, tidak bisa dibiarkan berlanjut.
“Hari ini kami adakan musyawarah adat untuk menentukan sikap dan langkah masyarakat adat di lembah Grime Nawa pada masa mendatang,” jelasnya.
Hasil musyawarah adat menegaskan menolak keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT PNM di wilayah lembah Grime Nawa. Karena perusahaan ini telah mengambil alih tanah dan hutan adat yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan, tanah, dan hukum adat di daerah Grime Nawa.
Oleh karenanya, tegas Matius, seluruh masyarakat adat Grime Nawa mendesak kepada bupati Jayapura segera mencabut izin lokasi dan izin lingkungan PT PNM karena melanggar hukum yang berlaku dan segera membuat rekomendasi kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) provinsi Papua untuk mencabut izin usaha perkebunan PT PNM sebelum tanggal 31 Juli 2022.
“Kami juga mendesak bupati Jayapura untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayah adat masyarakat adat di daerah lembah Grime Nawa sesuai Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 dan Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria,” tandasnya.
Musyawarah masyarakat adat daerah lembah Grime Nawa membicarakan ancaman ancaman perampasan tanah adat dan pengrusakan hutan adat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di lembah Grime Nawa. (Ist) |
Dalam musyawarah adat ditetapkan 11 poin pernyataan sikap yang ditujukan kepada pemerintah dan pihak perusahaan.
Berikut enam pernyataan diantaranya:
Pertama: Mendesak Menteri Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk tetap mempertahankan keputusan pencabutan pelepasan kawasan hutan PT PNM.
Kedua: Masyarakat adat lembah Grime Nawa menolak legitimasi pelepasan tanah yang dilakukan sepihak karena tidak sesuai dengan hukum adat.
Ketiga: Masyarakat adat sepakat bahwa pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan tanah dan hutan adat milik dilakukan berdasarkan pengetahuan dan hukum kebiasaan adat masyarakat setempat.
Keempat: Seluruh masyarakat adat daerah lembah Grime Nawa dan pihak lainnya yang berdiam di atas tanah dan hutan adat berkomitmen menjaga dan melindungi tanah dan hutan adat agar tetap lestari.
Kelima: Seluruh masyarakat adat daerah lembah Grime Nawa (Namblong, Elseng, Kemtuk, Orya, dan Klesi) bersepakat untuk tidak menyerahkan/memberikan tanah atau hutan adat kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun perusahaan lainnya yang dapat menyebabkan hilangnya hak atas tanah dan hutan adat.
Keenam: Mengingat beberapa poin di atas, maka kami berikan batas waktu pencabutan izin-izin PT PNM sampai pada tanggal 31 Juli 2022. Apabila tidak segera dicabut izin PT PNM, maka kami seluruh masyarakat adat daerah lembah Grime Nawa akan melakukan mobilisasi umum untuk aksi damai sekaligus mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat.
Sementara itu, Rosita Tecuari, tokoh perempuan Grime Nawa dari suku Namblong, mempertegas bahwa musyawarah adat juga mendesak DPMPTSP Papua segera mencabut izin usaha perkebunan PT PNM dari tanah adat Grime Nawa.
Desakan ini karena menurut Rosita, pihak perusahaan tidak melakukan kewajibannya sesuai IUP dan peraturan Menteri Pertanian tentang pedoman perizinan usaha perkebunan.
Selain itu, lanjut Rosita, masyarakat adat juga mendesak kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar menetapkan HGU PT PNM sebagai tanah terlantar sesuai Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan jo Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan kembalikan kepada masyarakat adat Grime Nawa.
Musyawarah masyarakat adat daerah lembah Grime Nawa membicarakan ancaman ancaman perampasan tanah adat dan pengrusakan hutan adat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di lembah Grime Nawa. (Ist) |
Di arena musyawarah adat dipajang pula beberapa spanduk dan poster bertuliskan aspirasi masyarakat Grime Nawa. Seperti, “Kitong tra butuh kam pu sawit. Tolak perusahaan perusak hutan adat kami”. “Selamatkan Lembah Grime Nawa dari ancaman perampasan tanah adat”. “Save Lembah Grime Nawa”. “Papua bukan tanah kosong”, dan lain-lain.
Juga dipasang tiga buah spanduk berisi gambar peta tanah adat, dan peta pembukaan lahan kebun sawit oleh PT PNM di lembah Grime Nawa.
PT PNM merupakan satu dari tiga perusahaan di Papua yang izin pelepasan kawasan hutan telah dicabut pemerintah pada tanggal 29 Maret 2022. Pencabutan izin dilakukan setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbitkan Surat Keputusan nomor 01/2022.
Keputusan tersebut diikuti pembentukan Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi oleh Presiden Joko Widodo dengan menetapkan Keppres nomor 1 tahun 2022. Satgas dipimpin Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, dibantu Wakil Menteri ESDM, Menteri LHK, dan Menteri ATR/Kepala BPN yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Indonesia.
Selain PT PNM yang beroperasi di lembah Grime Nawa dengan lahan seluas 16.182,48 hektar, pencabutan izin yang sama berlaku bagi PT Menara Wasior (MW) di kabupaten Teluk Wondama (28.838,82 ha), dan PT Tunas Agung Sejahtera (TAS) di kabupaten Mimika (84.521,72 ha).
Termasuk 15 perusahaan lainnya juga dicabut izin konsesi kawasan hutan.
Tetapi, pada 14 Juni 2022, PT PNM, PT TAS, dan PT MW menggugat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatannya tercatat dengan nomor perkara 166/G/2022/PTUN.JKT, 167/G/2022/PTUN.JKT, dan 168/G/2022/PTUN.JKT.
PT PNM dan PT TAS mendapat izin pelepasan kawasan hutan semasa menteri Zulkifli Hasan tepat menjelang akhir masa jabatannya.
Post A Comment:
0 comments: